PALU – Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Palu terhadap terdakwa tindak pidana korupsi Basir Cyio (BC) pada 9 Juli 2024 menuai polemik. Hukuman 1 tahun penjara dan dianggap jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa 8,6 tahun penjara.

Pakar hukum tindak pidana korupsi (tipikor), Prof. Abdul Wahid, angkat bicara mengenai putusan ini. Menurutnya, putusan hakim memang lebih ringan karena terdakwa tidak terbukti memperkaya diri sendiri, namun terbukti menguntungkan diri sendiri.

Ia mengungkapkan diksi “memperkaya” atau “menguntungkan” diri sendiri atau orang lain hakekatnya sama yakni merugikan keuangan negara yang cukup fantastis senilai 4,7 miliar rupiah.

Lebih jauh, tuntutan jaksa ke terdakwa BC 8,6 tahun penjara dengan vonis hakim yaitu 1 tahun penjara menunjukkan adanya kesenjangan yang menimbulkan polemik di masyarakat khususnya di media sosial.

“Mencermati tuntutan penuntut umum 8,6 tahun pidana penjara dan putusan hakim 1 tahun pidana penjara nampak jelas adanya disparitas”, kata Prof. Wahid.

Prof. Wahid mempertanyakan dasar pertimbangan hakim yang menjatuhkan hukuman lebih ringan.

“Perlu diingat bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang seharusnya diperberat karena dilakukan dengan menggunakan jabatan dan hasil korupsi digunakan untuk kepentingan pribadi,” tegas Prof. Wahid.

Prof. Wahid yang juga merupakan Guru Besar di Universitas Tadulako, menyoroti penggunaan dana BLU di luar Statuta dan OTK Untad secara fiktif yang dilakukan selama 3 tahun.

“Hal ini menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi ini tergolong berat dan seharusnya mendapat hukuman yang lebih setimpal,” jelasnya.

Selain itu, terdakwa BC juga adalah seorang residivis berdasarkan putusan majelis hakim pada tanggal 13 Juni 2024, hakim yang diketuai oleh Sugiyanto, menjatuhkan vonis penjara selama 6 bulan terkait kasus pelanggaran UU ITE pasal 29 jo pasal 45 b UU RI nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang RI nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

“Selain itu terdakwa juga pernah dipidana, dalam model pemidanaan di Indonesia bahwa residivis itu termasuk kategori tindak pidana yang diperberat”, tutur Prof Wahid.

Berdasarkan penelusuran jurnalis infosulteng.id ke Pengadilan Negeri Palu, penuntut umum I, Asmah M.H, mengajukan banding pada hari Selasa, 16 Juli 2024.

Prof. Wahid menyarankan agar Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding untuk menghindari polemik yang berkepanjangan.

“Banding dapat menjadi langkah untuk memastikan keadilan ditegakkan dan terhindar dari disparitas putusan,” ujarnya.

Prof. Wahid mengatakan maksud daripada terdakwa membuat program IPCC tujuannya baik yaitu untuk meningkatkan kinerja institusi dan sumberdaya. Namun dalam perjalanannya, terdakwa justru bekerja di luar statuta dan terjadi pelanggaran undang-undang.

“Sebenarnya terdakwa ini tujuannya baik, hanya saja dia bekerja di luar statuta dan akhirnya terjadi pelanggaran undang-undang”, kata Prof. Wahid.

Prof. Wahid mengharapkan agar jaksa penuntut umum serius dalam melaksanakan upaya permohonan banding. Hal ini untuk menghindari polemik lebih panjang karena adanya kesenjangan pemidanaan terhadap putusan pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Palu. (FR)