Palu – Seruan untuk menghentikan sementara penerbitan izin tambang mineral dan batubara kembali menguat di kawasan timur Indonesia. Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Working Group Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Regional Sulawesi–Papua, menilai perlunya kebijakan nasional dan daerah terkait moratorium izin tambang demi memperbaiki tata kelola sektor pertambangan.

Isu ini mengemuka dalam diskusi media bertajuk “Urgensi Moratorium Izin Tambang: Mendorong Perbaikan Tata Kelola Minerba dari Timur” yang diselenggarakan secara hybrid di Palu, Sulawesi Tengah.

Menurut para peserta, penerbitan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang perubahan keempat atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2025, berpotensi memperluas akses izin pertambangan bagi berbagai badan usaha, termasuk koperasi, BUMN, dan ormas keagamaan. Kebijakan ini dinilai berisiko memperparah tekanan terhadap lingkungan dan masyarakat lokal.

Peneliti PWYP Indonesia, Ariyansah Kiliu, menegaskan bahwa yang mendesak dilakukan saat ini justru moratorium, bukan pembukaan izin baru.

“Produksi batubara sudah melampaui batas yang diatur dalam Perpres Nomor 22 Tahun 2017 tentang RUEN, yaitu maksimal 400 juta ton per tahun. Namun pada 2024, produksinya telah mencapai sekitar 800 juta ton,” ujarnya.

Ariyansah juga menyoroti lemahnya tata kelola tambang, termasuk banyaknya perusahaan yang belum memenuhi kewajiban reklamasi, keberadaan lubang bekas tambang, kasus korupsi, serta pelanggaran HAM dan lingkungan yang masih marak.

Dari Sulawesi Tengah, Yayasan Kompas Peduli Hutan (KoMIU) menilai dampak ekonomi pertambangan belum dirasakan masyarakat secara luas.

“Yang muncul justru persoalan sosial, kerusakan infrastruktur, banjir, deforestasi, dan krisis air bersih,” ujar Ufudin dari KoMIU.

Ia meminta pemerintah pusat segera melakukan moratorium seluruh izin tambang mineral logam di daerah.

Direktur WALHI Sulawesi Tengah, Sunardi Katili, menambahkan bahwa kerusakan ekologi, pelanggaran HAM, dan krisis iklim menjadi alasan kuat diberlakukannya moratorium.

Seruan serupa juga datang dari Sulawesi Selatan. Direktur Eksekutif YASMIB Sulawesi, Rosniaty Panguriseng, menilai moratorium penting untuk menghentikan sementara ekspansi tambang di wilayah yang mengalami kerusakan hutan dan konflik lahan.

“Moratorium bukan langkah anti-investasi, tetapi jeda yang cerdas untuk menata ulang izin dan memastikan pembangunan berjalan adil dan berkelanjutan,” katanya.

Sementara itu, di Sulawesi Tenggara, LePMIL menilai tata kelola pertambangan masih carut-marut dari aspek perizinan hingga penerimaan negara.

Direktur LePMIL, Solihin, menyebut kondisi darurat lingkungan dan sosial menuntut negara segera melakukan moratorium pertambangan di Sulawesi, Maluku, dan Papua. Ia juga mendorong anggota legislatif di pusat dan daerah untuk ikut memperjuangkan kebijakan ini.

Dari Halmahera Selatan, perwakilan masyarakat terdampak tambang menyampaikan harapan agar moratorium benar-benar diiringi dengan langkah pemulihan lingkungan.

“Lingkungan kami sudah rusak, rumah tergusur. Kami ingin pemerintah serius memperhatikan masyarakat,” ujar salah satu warga.

Dari Papua, PERDU (Perkumpulan Pengembangan Masyarakat dan Konservasi SDA) menegaskan pentingnya moratorium dalam konteks tambang nikel di Raja Ampat dan aktivitas tambang tanpa izin di Manokwari serta Tambrauw.

“Moratorium dibutuhkan untuk menjamin pengakuan hak masyarakat adat dan mendorong tata kelola pertambangan yang berwawasan ekologis,” kata Risdianto, Direktur PERDU Papua.*