PALU – Ketua Masyarakat Pertambangan Indonesia (MPI) Sulawesi Tengah, Muhammad Rifky Zainudin, menyatakan dukungannya terhadap langkah cepat dan tegas Gubernur Sulawesi Tengah dalam merespons aspirasi masyarakat yaitu mencabut izin tambang PT Bumi Alpha Mandiri dan PT Tambang Watu Kalora.

Rifky menjelaskan, gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid secara resmi mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) kedua perusahan tersebut melalui surat Gubernur Sulawesi Tengah nomor : 500.10.2.3/229/Ro.Hukum, diterbitkan tanggal 18 Juni 2025.

Pihaknya juga mengingatkan pentingnya koordinasi yang lebih terpadu antara Pemerintah Kabupaten / Kota dan pemerintah Provinsi dalan menerbitkan Izin Usaha Pertambangan.

“Kami sangat mendukung respons cepat Gubernur yang berani dan tegas. Namun, perlu ada keselarasan antara Kabupaten / Kota  dan Provinsi dalam proses penerbitan izin. Pemerintah juga harus lebih selektif dalam menentukan wilayah yang layak menjadi area pertambangan,” ujarnya di Palu, Jumat (21/6/2025).

Menurutnya, perlu ada batasan yang jelas terhadap wilayah-wilayah yang sama sekali tidak boleh dimasukkan ke dalam kawasan pertambangan, terutama area yang telah berkembang menjadi permukiman padat penduduk.

MPI juga mendesak adanya penertiban terhadap oknum-oknum di pemerintahan yang diduga meloloskan IUP tanpa memenuhi seluruh syarat administrasi dan teknis. “Kalau sampai izin itu terbit, tentu ada tahapan yang dilangkahi. Ini perlu dievaluasi,” tegasnya.

Ia mencontohkan kompleksitas yang terjadi di wilayah Tipo, Kota Palu. Di wilayah tersebut, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang disusun oleh pihak terkait dan diketahui dan disahkan DPRD masih memasukkan kawasan itu sebagai wilayah pertambangan, padahal telah berkembang menjadi permukiman warga.

“Kenapa RTRW masih menyebut itu wilayah tambang, padahal masyarakat sudah ramai bermukim di sana?” ujarnya.

Selain itu, ia mempertanyakan penerbitan izin tata ruang oleh pemerintah kota, tanpa pelibatan pihak-pihak yang semestinya terlibat dalam proses verifikasi lapangan, seperti kepala desa, camat, pihak pertanahan, dan instansi terkait lainnya. “Apa mungkin mereka tidak melihat bahwa di situ sudah banyak rumah warga?” katanya.

Lebih jauh, MPI juga menyoroti proses penerbitan izin lingkungan yang dinilai tidak mempertimbangkan kondisi terbaru di lapangan.

“Kalau semua prosedur dijalankan sesuai aturan, tentu izin-izin seperti ini tidak akan bisa terbit di kawasan yang sudah menjadi permukiman,” ujarnya.

MPI berharap ke depan pemerintah lebih berhati-hati dan transparan dalam proses perizinan tambang, bahkan perlu melibatkan tim independen yang Qualifait agar kedepan tidak menimbulkan konflik di tengah masyarakat.****