Fakta bahwa kebangsawanan (toeana, toe’ana, tekei, maradika, madika) merupakan struktur yang kemudian ditambahkan pada masyarakat, terlihat dari adanya beberapa suku yang sampai saat ini tidak memiliki susunan kebangsawanan.
Mereka adalah To Meloi (Mbeloi, Beloi), satu kelompok dari To Rampi’, yang mungkin dianggap sebagai penduduk asli wilayah tersebut.
Selanjutnya To Tolee di daerah Koro, To Palolo dan To Raranggonau dari kelompok Sigi, serta To Pakawa, dikecualikan to Dombu dibagian utara wilayah ini. Penduduk tempat-tempat ini sering berhubungan dengan penduduk dataran rendah. Suku-suku yang dimaksud di sini adalah suku-suku yang masyarakatnya menyajikan kehidupan yang lebih sederhana dan terbelakang.
Ada pula yang seperti To Palolo dan To Raranggonaoe yang konon pernah memiliki gelar bangsawan, namun sudah hilang karena sudah berpindah ke sesama suku yang menetap di dataran rendah.
Kita harus membayangkan bahwa pendatang yang melahirkan bangsawan ini tidak menetap di daerah yang sulit dijangkau. Dipegunungan yang berbatasan dengan lembah Palu, orang tidak hanya tidak akan menemukan bangsawan, tetapi juga sedikit budak karena orang-orang disini memiliki perkiraan arti status, yaitu mereka tidak tahu bagaimana hidup tinggal bersama di desa-desa sebelum kedatangan Pemerintah Hindia Belanda, sehingga ini membutuhkan kekuatan penuntun yang terpancar dari wakil kaum bangsawan.
Selain cerita-cerita yang bernuansa mitos tentang asal usul kaum bangsawan, bab pertama juga banyak menyebutkan tradisi-tradisi yang mempunyai cap lebih sejarah, misalnya diceritakan bagaimana kaum bangsawan datang ke daerah Koro dan Kulawi. Pada kelompok Koro, Peana jelas merupakan pemukiman yang didirikan oleh para bangsawan pendatang, karena tempat tinggal mereka berbeda dengan yang lain dari segi lokasinya (terletak di lembah dan bukan di gunung) dan dari segi tata letaknya yang membedakan desa.
Sangat mengejutkan dalam tradisi-tradisi yang dilaporkan bahwa kaum bangsawan berhubungan erat dengan perang dan pembangunan sawah. Karena tidak ada kaum bangsawan, seseorang hanya bergerak melawan suku lain atas perintah suku terkait, yang kebangsawanannya merasa bergantung. Suku-suku yang memiliki bangsawan dipimpin dalam perang oleh bangsawan tersebut, contohnya di kelompok Kaili dan Sigi, yang mana keluarga kerajaan tumbuh bersama dengan kaum bangsawan, kita melihat bahwa di sana hanya persoalan antar pangeran saja yang menimbulkan peperangan.
Keterkaitan erat antara budidaya padi, khususnya di lahan sawah, dan kaum bangsawan terlihat jelas di sana-sini. Budidaya sawah sangat bergantung pada keberadaan kerbau yang menggali tanah. Kini para bangsawan menjadi pemilik kerbau. Mungkin para pendatang, orang yang memiliki kulit putih merupakan keturunan bangsawan, yang membawa hewan-hewan ini bersama mereka.
Rakyat biasa juga mempunyai kerbau, tetapi para bangsawan tetap menjadi pemilik ternak dalam jumlah besar. Di bawah ini kita akan melihat bahwa kepemilikan kerbau merupakan sarana utama kaum bangsawan kelompok Lore dan Rampi untuk menjadikan dan menjaga ketergantungan masyarakat terhadap mereka.
Di mana-mana dikatakan bahwa padi tidak akan berhasil lagi jika ditentang oleh kaum bangsawan (Kapala atau Pangeran). Ada juga kepala suku (seperti juga dikatakan tentang madika Biromaru), yang memberikan seikat beras kepada setiap rumah tangga, yang bulir-bulirnya dicampur dengan yang lain untuk dijadikan beras yang akan disemai. Para pemimpin besar yang namanya masih dikenang masyarakat selalu mengatakan bahwa pada masa pemerintahan mereka, ladang-ladang tersebut menghasilkan buah yang berlimpah, namun tidak semua padi dapat dipanen. Populasi ternak juga meningkat tajam di antara orang-orang ini. Tokoh tersebut antara lain adalah Madika Pudu dari Pantoloan yang memperkenalkan penggunaan batang kelapa sebagai pohon waendja pada festival panen.
Dokumentasi:
Peana, Oktober 1918
Maradika (Mulia) Malolo
“Maradika (Adelsman) Malolo”
Sumber : facebook Warisan Sejarah Paloe Koro
Oleh : A.C. Kruyt
Literatur : De West-Toradjas Op Midden-Celebes (1938) halaman 501-502