MOROWALI– Kondisi kerja buruh di kawasan industri nikel Morowali masih memprihatinkan. Menurut catatan serikat pekerja, buruh hanya menerima upah pokok antara Rp3 juta hingga Rp3,6 juta per bulan. Angka ini masih berada di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK) Morowali 2025 yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp3,7 juta.

Banyak buruh menilai penghasilan bulanan sekitar Rp7,5–8 juta baru cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun untuk mencapainya, mereka harus bekerja lembur hingga 13 jam per hari.

Logo GerakIn

Jam kerja panjang juga menjadi sorotan. Riset Federasi Pertambangan dan Energi KSPSI menemukan rata-rata buruh bekerja 56 jam per minggu, jauh melampaui batas 40 jam per minggu yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Kondisi tersebut tidak hanya menimbulkan kelelahan kronis, tetapi juga meningkatkan risiko kecelakaan kerja. Data dari Rasamala Hijau Indonesia dan Trend Asia mencatat puluhan buruh meninggal dalam dua tahun terakhir akibat ledakan tungku, kecelakaan alat berat, hingga kebakaran di area smelter.

Koordinator Komite Advokasi dan Ketenagakerjaan GerakIn, Muhlis, menegaskan situasi ini membutuhkan perhatian serius.
“Fakta bahwa upah masih di bawah standar dan jam kerja melampaui batas wajar jelas memperlihatkan lemahnya perlindungan bagi buruh. Pemerintah daerah dan pusat harus turun tangan lebih serius, bukan hanya untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi upah dan K3, tetapi juga menjamin bahwa hak-hak dasar pekerja tidak terus dikorbankan demi target produksi,” ujarnya.

Muhlis juga menekankan perlunya perbaikan sistemik di kawasan industri Morowali. “Buruh tidak menolak kerja keras. Yang mereka tuntut hanya keadilan: upah yang layak, jam kerja manusiawi, dan jaminan keselamatan di tempat kerja,” tambahnya.

Seruan ini sejalan dengan desakan berbagai serikat pekerja yang menilai bahwa tanpa reformasi menyeluruh, kawasan industri nikel Morowali akan terus menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang dengan kesejahteraan tenaga kerja.***